Orang Mandailing memiliki aksara tradisional yang dinamakan surat tulak tulak. Meskipun memiliki aksara sendiri tetapi tidak digunakan untuk mencatat atau menulis sejarah mereka. Surat tulak tulak dipakai untuk menuliskan tarombo (silsilah keluarga) serta mencatat ilmu pengobatan dan ilmu peramalan dalam kitab tradisional yang disebut pustaha.
Di dalam bukunya Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk, Willem Iskander menuliskan sepuluh buah prosa, dimana satu diantaranya berbentuk dialog yang dapat dikategorikan sebagai "drama" (mini). Prosa-prosa tersebut diperkirakan ditulisnya sekitar tahun 1860-an karena buku Si Bulus-Bulus Si Rumbuk-Rumbuk dicetak pertama kali pada tahun 1872 di Batavia. Dengan demikian prosa-prosa itu diciptakannya 75 tahun sebelum Kesusasteraan Indonesia mengenal Karya Sastra yang berbentuk Cerita Pendek (Cerpen) yang eksistensinya di Indonesia dipengaruhi oleh Kesusasteraan Barat.
Cerita pertama berjudul Sada Alak Pulon Ta On Na Mabiar Di Ahaila, yang secara harafiah artinya “seseorang dari pulau kita ini yang takut malu”. Dari judulnya saja dapat dipahami bahwa seseorang pada dasarnya selalu takut untuk berbuat sesuatu yang memalukan. Untuk menghindari perbuatan malu maka dari seseorang sangat dibutuhkan suatu tindakan yang berani, tegas, dan memiliki tanggungjawab yang besar.
Cerita kedua berjudul Amamate ni Alak na Lidang, yang secara harafiah artinya “meninggalnya orang yang jujur” dengan tema keagamaan. Cerita ini mengisahkan kepasrahan seseorang yang selama ini dikenal sebagai orang sangat jujur, dalam menerima kematian yang memang pasti datang pada setiap makhluk Allah.
Cerita ketiga berjudul Na Dangol Muda Na So Binoto, yang secara harafiah artinya “sedih kalau tak tahu” dengan tema pendidikan. Dalam cerita dikisahkan seorang raja yang pergi mengunjungi rumah seorang Asisten Residen Belanda. Sewaktu ia bertemu, di rumah itu pun sedang ada beberapa orang kulit putih yang sedang berbincang-bincang dengan Asisten Residen. Sebagaimana kebiasaan orang Belanda untuk menyambut tamunya, dihidangkanlah segelas teh panas, sementara sang raja belum pernah mendapatkan suguhan seperti itu, sehingga ia pun bingung memikirkan bagaimana caranya meminum teh panas tersebut. Dalam keadaan bingung dan malu untuk bertanya, maka diteguknya teh itu cepat-cepat. Melihat teh panas secepat itu direguk, lalu sang pelayan pun mengisi kembali gelasnya karena si pelayan mengira sang raja sangat haus. Sang raja yang melihat betapa cepatnya sang pelayanan mengisi kembali gelasnya, segera pula mereguk suguhan kedua tersebut, karena mengira memang begitulah aturan meminumnya. Kejadian itu berlangsung terus sampai tujuh gelas teh panas habis diteguk sang raja, yang akhirnya sang raja mohon ampun agar jangan lagi ia dihukum dengan meminum teh panas. Padahal, suguhan teh panas untuk tamu adalah tradisi orang Belanda.
Cerita keempat berjudul Pidong Garudo Bosar, yang secara harafiah artinya “burung garuda besar” dengan tema rasa tanggung jawab sesama makhluk. Cerita yang mengambil lokasi di daerah Eropa ini mengisahkan tiga orang abang beradik yang ingin mengambil burung garuda yang bersarang di lembah yang sangat curam. Usaha mengambil anak burung garuda ini ternyata mendapat perlawanan yang dari induknya dan burung garuda lainnya, yang hampir mengakibatkan kematian ketiga anak tersebut.
Cerita kelima dan keenam merupakan cerita yang bersambung yang berjudul, Tiruan ni Olong Ni Roa Marangka Maranggi, yang secara harafiah artinya ”contoh kasih sayang yang bersaudara” dengan tema rasa kasih sayang sesama saudara. Ketegaran kasih sayang ini digambarkan ketika kandasnya sebuah kapal layar yang membawa beratus orang penumpang. Untuk menyelamatkan diri setelah kapal itu pecah, maka kapten kapal memerintahkan agar setiap sekoci yang tersedia dimuat dengan sembilan belas orang. Namun keselamatan sekoci ini pun pada akhirnya tidak dapat dijamin, karena sudah mulai kekurangan bahan makanan, dan biasanya hanya dipersiapkan untuk empat orang penumpang. Maka diadakanlah perembukan dan akibatnya beberapa orang harus dijatuhkan ke laut. Ternyata di antara yang harus dibuang itu terdapat seorang lelaki yang memiliki seorang adik yang juga berada dalam sekoci dan tidak ikut untuk dibuang ke laut. Mengetahui sang abang akan dijadikan korban, sang adik dengan perasaan kasih sayang meminta agar ia saja yang menggantikan abangnya dengan alasan bahwa abangnya itu sudah berkeluarga, yang harus memelihara kehidupan anak dan isterinya.
Cerita ketujuh dan kedelapanan berjudul Na Binuat Tingon Barita ni Tuan Colombus, yang secara harafiah artinya ”yang diambil dari cerita Tuan Colombus”, juga merupakan dua cerita yang bersambungan yang menceritakan kisah perjalanan Colombus, si penemu benua Amerika. Cerita yang bertemakan manfaat ilmu pengetahuan bagi kesejahteraan umat manusia ini mengisahkan keunggulan Colombus memanfaatkan perhitungan berdasarkan ilmu astronomi.
Cerita kesembilan berjudul, Si Baroar, adalah sebuah legenda Mandailing yang bertemakan ”siapa yang melakukan/meniatkan kejahatan terhadap orang lain, biasanya orang itulah yang akan menemui celakanya”. Cerita ini mengisahkan usaha pembunuhan yang direncanakan Raja Hutabargot Sutan Pulungan terhadap Si Baroar, dengan cara menjerumuskannya ke dalam sebuah lobang yang dipersiapkan. Namun sialnya ternyata anak Sutan Pulungan sendirilah (karena raut muka dan perawakan anaknya itu agak mirip dengan Si Baroar) yang menjadi korbannya.GURU GODANG SIAN MANDAILING
Cerita pertama berjudul Sada Alak Pulon Ta On Na Mabiar Di Ahaila, yang secara harafiah artinya “seseorang dari pulau kita ini yang takut malu”. Dari judulnya saja dapat dipahami bahwa seseorang pada dasarnya selalu takut untuk berbuat sesuatu yang memalukan. Untuk menghindari perbuatan malu maka dari seseorang sangat dibutuhkan suatu tindakan yang berani, tegas, dan memiliki tanggungjawab yang besar.
Cerita kedua berjudul Amamate ni Alak na Lidang, yang secara harafiah artinya “meninggalnya orang yang jujur” dengan tema keagamaan. Cerita ini mengisahkan kepasrahan seseorang yang selama ini dikenal sebagai orang sangat jujur, dalam menerima kematian yang memang pasti datang pada setiap makhluk Allah.
Cerita ketiga berjudul Na Dangol Muda Na So Binoto, yang secara harafiah artinya “sedih kalau tak tahu” dengan tema pendidikan. Dalam cerita dikisahkan seorang raja yang pergi mengunjungi rumah seorang Asisten Residen Belanda. Sewaktu ia bertemu, di rumah itu pun sedang ada beberapa orang kulit putih yang sedang berbincang-bincang dengan Asisten Residen. Sebagaimana kebiasaan orang Belanda untuk menyambut tamunya, dihidangkanlah segelas teh panas, sementara sang raja belum pernah mendapatkan suguhan seperti itu, sehingga ia pun bingung memikirkan bagaimana caranya meminum teh panas tersebut. Dalam keadaan bingung dan malu untuk bertanya, maka diteguknya teh itu cepat-cepat. Melihat teh panas secepat itu direguk, lalu sang pelayan pun mengisi kembali gelasnya karena si pelayan mengira sang raja sangat haus. Sang raja yang melihat betapa cepatnya sang pelayanan mengisi kembali gelasnya, segera pula mereguk suguhan kedua tersebut, karena mengira memang begitulah aturan meminumnya. Kejadian itu berlangsung terus sampai tujuh gelas teh panas habis diteguk sang raja, yang akhirnya sang raja mohon ampun agar jangan lagi ia dihukum dengan meminum teh panas. Padahal, suguhan teh panas untuk tamu adalah tradisi orang Belanda.
Cerita keempat berjudul Pidong Garudo Bosar, yang secara harafiah artinya “burung garuda besar” dengan tema rasa tanggung jawab sesama makhluk. Cerita yang mengambil lokasi di daerah Eropa ini mengisahkan tiga orang abang beradik yang ingin mengambil burung garuda yang bersarang di lembah yang sangat curam. Usaha mengambil anak burung garuda ini ternyata mendapat perlawanan yang dari induknya dan burung garuda lainnya, yang hampir mengakibatkan kematian ketiga anak tersebut.
Cerita kelima dan keenam merupakan cerita yang bersambung yang berjudul, Tiruan ni Olong Ni Roa Marangka Maranggi, yang secara harafiah artinya ”contoh kasih sayang yang bersaudara” dengan tema rasa kasih sayang sesama saudara. Ketegaran kasih sayang ini digambarkan ketika kandasnya sebuah kapal layar yang membawa beratus orang penumpang. Untuk menyelamatkan diri setelah kapal itu pecah, maka kapten kapal memerintahkan agar setiap sekoci yang tersedia dimuat dengan sembilan belas orang. Namun keselamatan sekoci ini pun pada akhirnya tidak dapat dijamin, karena sudah mulai kekurangan bahan makanan, dan biasanya hanya dipersiapkan untuk empat orang penumpang. Maka diadakanlah perembukan dan akibatnya beberapa orang harus dijatuhkan ke laut. Ternyata di antara yang harus dibuang itu terdapat seorang lelaki yang memiliki seorang adik yang juga berada dalam sekoci dan tidak ikut untuk dibuang ke laut. Mengetahui sang abang akan dijadikan korban, sang adik dengan perasaan kasih sayang meminta agar ia saja yang menggantikan abangnya dengan alasan bahwa abangnya itu sudah berkeluarga, yang harus memelihara kehidupan anak dan isterinya.
Cerita ketujuh dan kedelapanan berjudul Na Binuat Tingon Barita ni Tuan Colombus, yang secara harafiah artinya ”yang diambil dari cerita Tuan Colombus”, juga merupakan dua cerita yang bersambungan yang menceritakan kisah perjalanan Colombus, si penemu benua Amerika. Cerita yang bertemakan manfaat ilmu pengetahuan bagi kesejahteraan umat manusia ini mengisahkan keunggulan Colombus memanfaatkan perhitungan berdasarkan ilmu astronomi.
Cerita kesembilan berjudul, Si Baroar, adalah sebuah legenda Mandailing yang bertemakan ”siapa yang melakukan/meniatkan kejahatan terhadap orang lain, biasanya orang itulah yang akan menemui celakanya”. Cerita ini mengisahkan usaha pembunuhan yang direncanakan Raja Hutabargot Sutan Pulungan terhadap Si Baroar, dengan cara menjerumuskannya ke dalam sebuah lobang yang dipersiapkan. Namun sialnya ternyata anak Sutan Pulungan sendirilah (karena raut muka dan perawakan anaknya itu agak mirip dengan Si Baroar) yang menjadi korbannya.GURU GODANG SIAN MANDAILING
WILLEM ISKANDER (1840-1876) adalah tokoh pendidikan dan sastrawan Mandailing. Salah satu cara yang ditempuh oleh Willem Iskander untuk memajukan orang Mandailing ketika itu adalah melalui seni-budaya (karya sastra) dan pendidikan. Sampai sekarang masih banyak orang Mandailing yang masih mengingat bahwa Willem Iskander kelahiran Pidoli Lombang (Mandailing Godang) ini, ayahnya adalah Raja Tinating sedangkan ibunya Si Anggur boru Lubis berasal dari Rao-rao, adalah sebuah desa di seberangBatang Gadis. Beliau pernah mengenyam pendidikan ”sekolah rendah” yang didirikan pemerintah kolonial Belanda di Panyabungan dan kemudian menjadi guru di situ. Karena beliau termasuk orang yang rajin mencaribisuk na peto sehingga membuatnya menjadi alak na bisuk, dan ia pun memperoleh kesempatan belajar (bea siswa) ke negeri Belanda untuk menambah ilmu pengetahuan. Setelah belajar di Negeri Kincir Angin itu, namun karena terus sakit-sakitan sehingga tidak dapat menyelesaikan pendidikannya, maka ia pun pulang ke kampung halaman. Beberapa tahun kemudian ia berhasil mendirikan ”sekolah guru” di Tano Bato untuk mewujudkan cita-cita mulia yang telah cukup lama diidamkannya yaitu mencerdaskan koum-sisolkot melalui pendidikan dan seni (sastra). Buah karyanya yaitu buku yang cukup dikenal masyarakat luas adalah Si Bulus-bulus Si Rumbuk-rumbuk. Dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional (1978), Presiden RI memberikanHadiah Seni kepada beliau (sebagai penghargaan atas jasa atau prestasi yang luar biasa yang telah ditunjukkan dalam meningkatkan seni budaya Bangsa Indonesia) berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 23 Tahun 1976.
TURI-TURIAN NI RAJA GORGA DI LANGIT DOHOT SUTAN SUASA DI PORTIBI
TURI-TURIAN NI RAJA GORGA DI LANGIT DOHOT SUTAN SUASA DI PORTIBI
TURI-TURIAN
Turi-turian adalah karya sastra Mandailing yang di masa lalu disiarkan dari mulut ke mulut (tradisi lisan). Turi-turian merupakan aksi (tradisi) bertutur yang sangat terstruktur dan aktivitas bercerita (disebut "Marturi") ini dapat berlangsung di kalangan elit kerajaan misalnya ketika mereka bertemu dalam majelis untuk memutuskan kebijakan budaya dan politik di Sopo Godang (Balai Sidang Adat). Salah satu turi-turian yang dikenal luas masyarakat Mandailing dan fenomenal adalah Turi-turian Ni Radja Gorga Di Langit Dohot Radja Soeasa Di Portibi yang dikarang oleh Mangaradja Goenoeng Sorik Marapi Radja Panoesoenan Boeloeng di Maga (1957).
ABOUT ME
Edi Nasution
hails from Gunung Tua-Muarasoro, Kotanopan – Mandailing Julu, where he was born on 13 March 1963. He obtained his bachelor degree in Ethnomusicology in 1995 from the University of North Sumatra (USU) in Medan, Indonesia. He is the author of Tulila: Muzik Bujukan Mandailing, a study of Mandailing courtship music, published in 2007 by Areca Books (www.arecabooks.com) Penang, Malaysia.
Edi Nasution
hails from Gunung Tua-Muarasoro, Kotanopan – Mandailing Julu, where he was born on 13 March 1963. He obtained his bachelor degree in Ethnomusicology in 1995 from the University of North Sumatra (USU) in Medan, Indonesia. He is the author of Tulila: Muzik Bujukan Mandailing, a study of Mandailing courtship music, published in 2007 by Areca Books (www.arecabooks.com) Penang, Malaysia.